Kamis, 27 Maret 2008

Sebuah surat beramplop putih

kemarin di hari yang panas berapi-api
kutemukan sebuah surat beramplop putih
tanggal dikirmnya 50 tahun lagi dari waktu kini
tentu saja aku terkejut setengah mati

surat itu berkata sedih
zaman nanti begitu ringkih
orang tak lagi diberi nama cantik
supaya tak repot mengenali

surat itu berkata dengan lirih
bahwa zaman nanti begitu kering
tak lagi 8 gelas untuk sehari
jatah setengah gelas kadang masih dikurangi

surat itu lagi menjerit pedih
rambut wanita bukan lagi
jadi mahkota yang dipilin
mereka digunduli sejak lahir
agar tidak menghabiskan air
untuk sekedar cuci diri

surat itu menahan lirih
menyaksikan jiwa-jiwa yang tertatih
sungguh benar tak dapat hidup orang miskin
karena udara pun harus diganti rugi

ah, aku tak tahan dengan surat yang merintih
karena zaman nanti begitu pahit
tak ada lagi taman untuk bermain
tak ada hijau untuk dipandangi
tinggallah retak-retak bersama yang terkikis
tinggallah gersang diiringi yang mendidih
dan tinggallah sakit bertangis-tangis

Surat itu berkata lagi
Di tengah kerontang bumi yang kering
ada seorang anak kecil
bertanya pada si penulis surat beramplop putih
benarkah dulu bumi tidak seperti ini?
apakah dulu begitu banyak air?
apakah dulu pohon-pohon berderet manis?
apakah ada padang hijau untuk bermain?
Lalu kenapa bisa jadi begini?

Hati penulis meringis
dan hanya bisa mengangguk sedih

Sesaat kemudian
aku ingin bertanya pada surat beramplop putih
benarkah zaman itu akan terjadi?
bukankah air tak bisa habis?
benarkah hijau akan terkikis,
menjadi pecah dan mengering?

Tunggu dulu...
Kalau benar begitu, sekarang ijinkan aku
Untuk bersapa pada penghuni bumi
Hei, para penebang pohon, apa kabar?
Hei, para pemilik pabrik bersimbah limbah, apa kabar?
Dan apa pula kabar dirimu, wahai si pembuang sampah sembarangan?
Baik-baik saja kah?
Mengapa bukan kau yang mendapat surat ini?

Jika saja kau terima surat beramplop putih
Mungkin hanya sekali ini ia peringati
bahwa kita telah membunuh bumi
pelan-pelan tapi pasti

0 komentar: